Rabu, 26 September 2012

Satu Rindu "Ibu"

  "Nina, masuk nak!" Seru seorang Ibu dari balik pintu rumah bilik itu.
  "Iya Ibu, sebentar lagi." Jawab gadis kecil yang sedang asyik bermain dengan hujan.
Nampak keceriaan yang sangat di raut wajah sang gadis. Sikapnya mengingatkanku saat aku masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak. Setiap hujan turun, aku tak pernah absen bermain dengan "nya". Ibu yang terlanjur lelah menasehatiku agar jangan terlalu sering bermain hujan, hanya mampu mengawasiku dari balik pintu.
  Seusai bermain dengan hujan, segelas coklat hangat dan pisang goreng sudah menanti di atas meja. Ibu memang tak terhingga baiknya. Namun kini, semua itu hanya tinggal kenangan, Ibu telah pergi di saat hujan deras mengguyur desaku 10 Tahun yang lalu. Petir menyambar-nyambar, angin bertiup kencang seakan mampu menerbangkan apapun yang ada di sekitarnya.
  Saat itu tepat pukul 7 malam, hujan semakin deras dan angin masih bertiup kencang. Tiba-tiba terdengar suara seperti bom meledak, aku yang saat itu masih berusia 10 tahun ketakutan tak terbendung. Ibu mendekapku erat berusaha menenangkanku. Banyak orang yang keluar rumah untuk mengetahui suara apa yang terdengar. Tak lama kemudian banyak orang lari terbirit-birit sambil berteriak histeris.
  Ternyata, bendungan di ujung desa tak mampu menahan air dari sungai,dan banjir bandang terjadi. Air dengan cepat menyapu semua yang ada di depannya, tak terkecuali rumahku yang saat itu hanya ada aku dan ibu karena Ayah memang jarang berada di rumah. Setauku dia bekerja di kota. Air menyapu rumah kami, aku dan ibu yang tak sempat menyelamatkan diri pasrah dengan segala kemungkinan yang terjadi. Aku tak merasakan apa-apa, yang aku rasakan hanyalah hangat dekapan Ibu. Kehangatan yang masih terasa sampai sekarang, walaupun hanya dalam ingatanku saja.
  Tiga hari setelah kejadian itu, aku tersadar tengah berada di tempat yang asing. Tempat yang belum pernah aku masuki sebelumnya.
   "Ibu..." Teriakku ketakutan mencari Ibu.
   "Adek..tenang ya, Ibu adek ada di ruangan sebelah. Sekarang adek ada di Puskesmas, istirahat yang tenang ya, biar cepat sembuh." Ujar seorang perawat menenangkanku.
   "Tapi Ibu mana mba?? Ratna takut." Rengekku.
   "Besok saja ya, sekarang adek tidur lagi saja." Bujuknya
   "Janji ya mba...!!" "Iya adek manis." Keesokan harinya aku merasa lebihi fresh dan segar, dan tanpa pikir panjang, aku segera turun untuk mencari ibuku.
   "Ibu...Ibu dimana?" Teriakku lirih Tak ada yang menjawab, semua sibuk dengan urusannya masing-masing.
  Ya, saat ini aku masih berada di Puskesmas yang cukup jauh dari desaku. Di sini banyak orang dimana-mana. Banyak yang menangis kesakitan, ada yang sedang di jahit lengannya. Aku masih belum paham dengan apa yang sebenarnya terjadi.
  "Ada apa ini" pikirku.
  "Loh, adek kok jalan-jalan." Terdengar suara perawat yang kemarin.
  "Aku mau nyari Ibu, mba." Jawabku lirih Perawat itu memang tampak masih muda, mungkin seumuran dengan kakak perempuanku yang meninggal 4 tahun yang lalu.
  "Ayo mba antar cari Ibu nya." Ajaknya. Aku berkeliling di dalam ruangan dan keluar ruangan untuk mencari ibu. Namun tak kunjung kutemui.
  "Nama Ibu Adek siapa? barang kali mba bisa bantu cari di data puskesmas." Tanyanya
  "Nama Ibuku, Rosyidah mba, mba kenal sama Ibuku?" Tanyaku Perawat tadi terdiam sesaat aku menyebut nama Ibuku.
  "Mba kenapa diam?"Tanyaku lagi
  "Adek yang tabah ya. Ibu adek sudah di makamkan dua hari yang lalu, saat adek belum sadarkan diri di ruang perawatan." Jelasnya
  "Mba bohong kan? Ibuku masih hidup kan? aku tau kemarin malam Ibu memelukku saat aku tidur. Mba pasti bohong." Elakku sambil menangis.
  "Mba ngga bohong, Ibu adek sudah dimakamkan dua hari yang lalu karena lukanya yang teralu parah saat melindungi adek dari terjangan banjir bandang kemarin."
  "Ibu....kenapa Ibu pergi." Teriakku sambil menangis terisak-isak.

  Kini, banjir bandang itu sudah lewat 10 tahun yang lalu, 10 tahun aku di tinggal Ibu, 10 tahun pula aku tak pernah bertemu ayah yang katanya bekerja di kota. 10 tahun aku tinggal bersama mba Putri yang setia menjalani pekerjaanya sebagai perawat orang sakit, tanpa upah, tanpa gaji. 10 Tahun pula aku selalu menitipkan rinduku pada Hujan untuk Ibu.
  "Ibu, aku percaya di setiap hujan yang turun, di situlah Engkau mendekapku."