Berawal dari ketidaksengajaanku menyaksikan Dia di sebuah acara di TVRI,
“Voice of Indonesia” malam itu. Berlanjut kepada ketertarikanku dengan gayanya
berbicara, caranya menyampaikan jawaban dan bercerita tentang isi buku-bukunya
yang banyak mengambil isu sosial masyarakat. “Djenar Maesa Ayu”, dari namanya
saja sudah mengundang perhatianku padanya dan akupun memutuskan minggu ini
harus mendapatkan buku-bukunya.
Sabtu siang sepulang bekerja, saya
putuskan untuk mampir sejenak ke sebuah toko buku untuk membeli salah satu buku
karya Djenar Maesa Ayu. Sempat bingung dimana buku yang kucari berada dan
akhirnya kutemukan setelah bertanya ke salah satu petugas toko. Yang unik dari
buku cetakan ulang Djenar adalah covernya yang berisi satu gambar utuh dibagi menjadi
empat bagian (4 Cover buku) yaitu cover “Mereka Bilang Saya Monyet”, “Jangan
Main-Main (Dengan Kelaminmu)” , “Nayla” , dan “Cerita Pendek Tentang Cerita
Cinta Pendek”.
Setelah memilih-milih buku (yang sesuai budget kala itu), saya putuskan
untuk membeli “Mereka Bilang Saya Monyet” yang berisi 11 judul cerpen di
dalammnya. Dan di bulan November 2012, buku ini sudah masuk ke cetakan ke sepuluh, hal yang luar biasa menurut saya.
Awalnya buku ini ingin saya baca hari
Minggu untuk mengisi hari libur, tapi karena suatu keinginan yang begitu
menggelora akhirnya saya putuskan untuk membacanya saat itu juga. Saat awal
membaca cerpen pertama yang berjudul “Mereka Bilang Saya Monyet” membuat saya
merasakan suatu imaji yang luar biasa. Mungkin bagi sebagian orang,
tulisan-tulisan Djenar terlalu vulgar karena sebagian besar ceritanya seputaran
sex, tentang pelecehan serta penyimpangan sampai kebutuhan.
Lanjut ke cerita kedua yang berjudul
“Lintah” yang bercerita tentang seorang lelaki simpanan yang kerjanya hanya menghisap,
menikmati jerih payah seorang wanita tetapi si wanita justru lebih menyayangi
Lintah ketimmbang anaknya sendiri dan akhirnya si wanita ingin menikahi Lintah
setelah bertahun-tahun hidup bersama tanpa pernah tau si Lintahpun sudah pernah
menghisap anaknya.
Cerpen ketiga berjudul “Durian”, di
dalam cerita ini saya sempat merasa bingung saat membacanya. Jujur saja,
tulisan-tulisan Djenar memang membutuhkan imajinasi tinggi karena Djenar tidak
menjelaskan secara terang-terangan tentang apa yang sebenarnya dia ingin
sampaikan melalui tulisannya. Namun akhirnya saya memahami juga bahwa dalam
cerita tersebut berisi suatu gejolak antara keinginan yang begitu kuat dan
larangan yang harus dijalani. Tapi bagaimanapun seorang “Hyza” tokoh dalam
cerita tersebut mencoba menahan nafsunya demi sebuah larangan akhirnya diapun
kalah.
Cerita keempat berjudul “Melukis Jendela”,
cerita ini merupakan salah satu cerita yang saya suka. Di dalamnya berisi
seorang anak perempuan yang sering mendapat “pelecehan” oleh teman-teman
lelakinya di sekolah, ia tidak mempunyai Ibu dan berusaha menciptakan sosok Ibu
lewat Lukisannya sebagai teman curhat. Sedangkan Ayahnya terlalu sibuk dengan
pekerjaan dan “Perempuan”. Sampai akhirnya dia membuat lukisan Ayah dan Ibu
seakan-akan dia merasakan lukisan tersebut hidup sampai akhirnya dia menyadari
bahwa lukisan tersebut hanyalah sebuah gambar yang tak sama dengan khayalannya.
Setelah membakar lukisan Ayah dan Ibunya, dia menciptakan Lukisan sebuah
jendela dan masuk di dalamnya tanpa pernah kembali ke rumah. Yang dimaksudkan
adalah si anak masuk ke dalam dunia kebebasan yang digambarkan dalam cerita
tersebut sebagai jendela.
Nah, untuk cerita kelima merupakan
cerita yang paling saya suka. “SMS”, cerpen ini benar-benar hanya berisi
penggalan-penggalan sms dari nomor-nomor yang saling berhubungan satu sama
lain. Yang saya tangkap dari cerita di judul ini adalah, 3 pasang suami-istri
yang semuanya ternyata saling selingkuh. Menurut Sutardji Calzoum Bachri,
"cerita ini kelihatan sepintas bagaikan pemaparan fotografis gunung es yang
keluasan atau kedalamannya harus dicari sendiri oleh pembaca dalam bagisn yang
tidak ditampilkan." Saya tentu setuju dengan pendapat dari Sutardji, karena
butuh kejelian untuk mengartikan maksud dari cerita ini.
Lanjut ke cerita keenam yang berjudul
“Menepis Harapan”, menurut saya tidak ada yang begitu istimewa di dalamnya,
tidak seperti cerita-cerita sebelumnya.
Cerita ke tujuh “Waktu Nayla”
merupakan salah satu cerpen Djenar yang mendapat penghargaan Cerpen Terbaik
Kompas di tahun 2003. Bercerita tentang seorang yang divonis akan mati setahun
lagi Karen mengidap kanker ovarium. Baginya, waktu adalah sarana yang netral
dan objektif. Tetapi setelah mengetahui dirinya terkenan kanker, dia merubah
segala cara berpikirnya dan menikmati setiap waktunya sebelum kematian.
Cerita selanjutnya berjudul “…Wong
Asu”, menurut saya cerita ini hanya berisi sebuah gejolak batin yang
digambarkan sebagai Wong Asu.
Cerpen yang satu ini benar-benar
menggambarkan cara Djenar yang blak-blakan dalam berkarya. Cerita yang berjudul
“Namanya, …” berisi tentang seorang anak yang diberi nama Me**k (organ intim
wanita), aneh juga sampai ada orangtua yang memberi nama anaknya seperti ini.
Cerpen kesepuluh yang berjudul
“Asmoro”, mengutip pendapat dari Sutardji Calzoum Bachri, “Cerpen ini adalah
kisah pengarang yang kerasukan menulis. Ia terobsesi dengan imajinasinya
sendiri.”
Dan yang terakhir cerpen berjudul
“Manusya dan Dia” yang lagi-lagi berisi tentang pergulatan batin antara Manusya
dan Dia, yang selalu merasuk ke tubuh Manusya.
Secara keseluruhan, menurut saya
cerita-cerita tersebut cukup menarik dengan penulisan bahasa yang kuat dan
padat. Djenar begitu apik meyusun kata sehingga mampu menciptakan imajinasi
pembacanya. Semoga bisa segera menyusul membaca buku selanjutnya :)
Nb : menurut saya, yang pantas jadi saudara seayah Djenar sebenarnya adalah Titi Sjuman (Istri Wong Aksan, kakak tiri Djenar) karena wajah mereka begitu mirip.
Nb : menurut saya, yang pantas jadi saudara seayah Djenar sebenarnya adalah Titi Sjuman (Istri Wong Aksan, kakak tiri Djenar) karena wajah mereka begitu mirip.